Selasa, 04 Mei 2010

Satu Hari yang Penuh Dedikasi dan Disiplin

Posted on 17.57 by Endang Abdurrahman

Lulus dari SMP Negeri 2 Tasikmalaya, seharusnya bisa bangga diterima di SMA Negeri 2, SMA favorit di kota Tasik. Namun solidaritas pertemanan mengajakku ke Gontor. Asep Rudi yang mengajak saya. Dengan izin orang tua dan bekal secukupnya, dimulailah perjalanan panjang Tasik - Ponorogo. Tidak mudah menemukan Gontor. Tapi, akhirnya bersua juga.

Untuk menjadi santri di pondok pesantren Gontor tidaklah mudah. Semuanya melalui prosedur, dan yang pasti harus lulus seleksi. Pada saat saya ikuti test masuk, ada sekitar 1500-an calon santri yang mendaftar, dan yang terseleksi untuk diterima menjadi santri hanya sekitar 600 siswa, termasuk saya dan Asep kawan karib saya.. Ini bagi saya tidak lepas dari usaha saya untuk belajar sambil mukim sebulan Ramadhan penuh di sana. Terlebih lagi dengan adanya bantuan usaha dan do’a dari orang tua, terasa begitu nikmatnya hidup dalam nuansa religi dan kerja.

Kehidupan di Gontor penuh disiplin dan praktik berbahasa Arab-Inggrisnya yang sangat intens. Dengan mengadopsi sistem belajar dari lima sintesa; Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligchar di India dan Taman Pendidikan Shantiniketan di India, Gontor mampu mengendalikan 3500 santri lebih. Dari dentang lonceng ke lonceng para santri menyesuaikan diri.

Pagi, sebelum adzan Shubuh para santri sudah dibangunkan. Jam 7.00 sudah harus ada di kelas. Sebelum sholat Dhuhur, sekitar jam 12.00 sekolah pagi harus berakhir. Jam 13.30, setelah makan siang, santri sudah bersiap kembali untuk belajar siang [kursus/darsul masaa]. Bedanya, untuk pelajaran siang, yang mengajar adalah kakak kelas, jika disamakan, sekelas dengan kelas 3 Aliyah, sedang pelajaran pagi dibimbing oleh para ustadz. Pengalaman belajar-mengajar sejak dini inilah yang mendidik santri-santri Gontor banyak bergelut dalam bidang pendidikan.

Sore, setelah sholat ashar berjama’ah, santri membaca al-Qur’an, kemudian istirahat. Pada jam istirahat inilah banyak aktivitas. Bermacam cabang olah raga, berbagai keterampilan yang diikuti seperti melukis, main musik, khot, diskusi ilmiah, theater, bahasa, drum band [sekarang marching band] dan lain-lain dengan ragam kegiatan yang cocok dengan santri semuanya ada.

Bagi mereka yang tidak suka ikut kegiatan seperti itu, bisa saja jalan-jalan keliling pondok yang luasnya sekitar 6 hektar, atau juga mencuci pakaian kotor, belajar di perpus, atau mojok sendiri membaca buku di tepi sungai kecil [Malo] di samping bangunan kelas di Komplek Sholihin [KomSol]. Atau nongkrong [hang out] di Cafetaria.

Ketika lonceng istirahat berdentang sebagai tanda waktu istirahat selesai, para santri bergegas dan siap-siap pergi ke masjid untuk sholat magrib berjama’ah. Jika lonceng berikutnya berbunyi, yaitu sekitar jam 17.00, dan masih ada santri yang terlambat memasuki masjid, maka santri itu akan dikenai hukuman. Biasanya, kalau tidak dapat pukulan rotan di paha, santri itu dapat pukulan ringan di wajah [waktu itu memang agak 'kejam']. Semuanya harus berdisiplin. Keluar dari aturan, resikonya harus siap pasang badan untuk diganjar hukuman. Aturan yang dibarengi hukuman yang tegas, atau disiplin yang ditegakkan telah menjadikan Gontor memiliki wibawa sebagaimana kawah candradimuka. Bagi Gontor, semua santri, para asatidz yang tinggal di dalamnya harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Jika tidak, pintu keluar terbuka lebar. Gontor tidak butuh santri, yang butuh pendidikan di Gontor itu adalah para santri, jadi gambaran negosiasinya jelas.

Sambil menunggu adzan magrib, santri wajib membaca al-Qur’an. Karena itu semuanya wajib membawa al-Qur’an. Jika ada santri yang ditemukan tidak membawa al-Qur’an, atau berbicara satu sama lain di saat semuanya membaca, maka santri itu akan disuruh berdiri oleh kakak pengurus di tengah-tengah ribuan santri lainnya.

Selesai sholat magrib, para santri kembali ke asrama masing-masing untuk kembali membaca al-Qur’an. Di sini mereka diawasi oleh pengurus asrama. Jika ada yang bergurau atau tidak membaca al-Qur’an, pengurus akan memberikan juga hukuman tanda kasih sayang dari pengasuh. Aturan yang diawasi dengan baik menjadikan semua program kegiatan dapat dengan mudah terealisasikan.

Selanjutnya, setelah membaca al-Qur’an bersama di asrama, tibalah saatnya untuk makan malam baik di dapur umum atau dapur-dapur keluarga Asatidz Senior para pengasuh pondok. Pemisahan antara dapur umum dengan dapur keluarga hanyalah untuk mempercepat sirkulasi aktivitas santri. Sehingga waktu untuk makan tidak habis terbuang percuma. Dapur umum adalah tempat makan umumnya para santri. Di sini terpusat ribuan santri yang antri mengambil makanan. Sedang dapur keluarga adalah dapur santri yang di tempatkan di rumah-rumah pengasuh pondok. Hanya tempatnya saja yang berbeda, pengelolanya sama, masih diserahkan juga pada santri, yaitu santri senior.

Di Gontor, hampir seluruh keperluan-keperluan santri diserahkan dan dimanejeri oleh santri sendiri. Seperti koperasi pelajar yang menyajikan segala macam kebutuhan belajar, pakaian, makanan seperti roti, mie dan lain-lain, semuanya santri yang mengelola. Begitu juga dengan dapur makan, warung makan, dan lain-lain.

Pelajaran berorganisasi melalui pelimpahan wewenang seperti ini turut memberikan nilai pendidikan yang positif bagi para santri Gontor untuk mengembangkan potensinya di kemudian hari saat berada di masyarakat kelak. Dan pengalaman ini yang tampaknya menyulut para alumni Gontor untuk aktif di berbagai organisasi masyarakat-keagamaan, dan juga politik.

Seusai makan malam, kemudian dilanjutkan dengan sholat isya berjama’ah. Mayoritas santri melaksanakan shalat Isya di kamar masing-masing, tentunya berjamaah yang dipimpin oleh santri sendiri secara bergantian, untuk melatih imaamah dan jama'ah. Aktivitas para santri dilanjutkan dengan belajar, baik bermuwajjahah bersama wali kelas atau belajar sendiri di tempat-tempat yang mereka suka.

Pada waktu jam belajar ini, para santri dilarang tidur sebelum jam 22.00 malam. Karena itu, mamnu’ atau terlarang bagi santri belajar di kamar. Semuanya harus berada di luar, baik di teras asrama, di halaman, di gedung pertemuan, di kelas, dan lain-lain. Intinya, semua santri harus belajar, mempersiapkan pelajaran atau mengulangi pelajaran yang sudah dipelajari di kelas.

Setelah jam menunjukkan waktu tidur [21.30], para santri harus segera kembali ke asrama, karena absensi malam akan segera dibacakan. Siapa yang telat, baik karena tertidur di kelas, atau keluar dari pondok, akan segera ketahuan. Inillah pengawasan nonstop 24 jam memberikan kontribusi bagi kesuksesan lambaga ini. Dan begitulah seterusnya, setelah lelap tertidur, para santri kembali dihadapkan dengan fajar yang menandai aktivitas kepesantrenan dimulai lagi.

Bagi saya Gontor telah meredakan kecemasan hidup. Prinsip kerja, ikhlas dan penuh pengabdian menjadikan saya tak surut dalam menghadapi tuntutan hidup. [*]

No Response to "Satu Hari yang Penuh Dedikasi dan Disiplin"

Leave A Reply